Kurikulum 2013 Memaksa Pelajar Papua Pahami Internet
Sekelompok pelajar sekolah menengah umum di Kota Jayapura, Provinsi Papua, tampak galau ketika berkumpul di depan salah satu warung internet di Distrik Abepura.
Kegalauan mereka bukan karena urusan asmara atau kesulitan biaya pendidikan, melainkan karena beban tugas yang harus dicari di internet terkait pemberlakuan Kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 dibentuk untuk mempersiapkan lahirnya generasi emas Bangsa Indonesia yang mendorong siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum ini menekankan tiga hal pokok yakni pengetahuan, ketrampilan, dan sikap.
Pengetahuan dalam Kurikulum 2013 sama seperti beberapa kurikulum sebelumnya yaitu penekanan pada tingkat pemahaman siswa dalam pelajaran.
Nilai dari aspek pengetahuan merupakan hasil ulangan harian, ujian tengah/akhir semester, dan ujian kenaikan kelas. Namun, pada Kurikulum 2013 pengetahuan bukan aspek utama seperti pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, karena lebih menekankan pemahaman.
Sementara keterampilan merupakan aspek baru dalam kurikulum di Indonesia, yang menekankan skill atau kemampuan. Misalnya, kemampuan mengemukakan pendapat, berdiksusi/bermusyawarah, membuat laporan, serta berpresentasi.
Keterampilan merupakan salah satu aspek penting karena hanya dengan pengetahuan, siswa tidak dapat menyalurkan pengetahuan tersebut sehingga hanya menjadi teori semata.
Aspek sikap agak sulit untuk dinilai karena berkaitan dengan sopan santun, adab (kehalusan dan kebaikan budi pekerti) dalam belajar, absensi, sosial, dan agama.
Karena itu, diperlukan kerja sama yang baik antara orang tua, guru mata pelajaran, wali kelas dan guru Bimbingan Konseling (BK) agar penilaian bisa lebih optimal.
Untuk menerapkan penilaian sikap, setiap tatap muka guru harus menyiapkan lembar pengamatan penilaian sikap.
Terkait aspek pengetahuan yang menekankan pemahaman, para pelajar dituntut untuk “berteman” dengan internet, untuk mencari bahan atau materi pembelajaran sesuai arahan guru.
Hanya saja, tidak dipungkiri jaringan internet di Kota Jayapura, apalagi di daerah lain di Provinsi Papua, belum sesuai harapan banyak orang, seperti di kota-kota lain di Pulau Jawa.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring ketika berada di Tanah Papua, 24 Agustus, mengakui lemahnya jaringan internet di provinsi paling timur Indonesia itu.
Namun, tidak banyak yang bisa dilakukan Tifatul kecuali meminta operator layanan jasa telekomunikasi meningkatkan kecepatan akses internet di Papua.
“Mengenai peningkatan ’speed’ (kecepatan), kami akan bicara dengan ’provider’ (penyedia),” kata Tifatul yang saat itu didampingi Staf Khusus Bidang Hubungan Media Ahmad Mabruri.
Karena itu, istilah internet “lelet” dan tidak banyak usaha jasa warnet selalu menjadi topik diskusi pengguna jasa teknologi informasi di Papua, termasuk para pelajar terkait Kurikulum 2013.
Itu sebabnya, sekelompok pelajar SMU di Kota Jayapura itu dilanda kegalauan.
Selain khawatir karena beberapa di antara mereka masih gaptek (gagap teknologi), juga harus antre menunggu giliran karena warnet di Kota Jayapura tidak sebanyak di daerah lain di Tanah Air.
Adaptasi Para pelajar di Jayapura dan daerah lainnya di Papua, tidak punya pilihan lain kecuali beradapatasi dengan pemberlakuan kurikulum 2013 demi masa depan, meskipun banyak mendapat tugas dan penambahan jam pelajaran.
“Hampir setiap materi model pembelajaran diberi tugas sejak kurikulum baru ini diberlakukan,” kata Novela Krey, siswa kelas 11 SMA YPPK Teruna Bhakti Jayapura.
Novela mengakui bahwa kurikulum 2013 lebih berat dan banyak menyita waktu, serta waktu pulang lebih lama dari biasanya.
Namun, dia pun mengakui kurikulum tersebut memacu para siswa agar terus aktif belajar dan memahami setiap mata pelajaran.
Selain itu, para siswa dituntut untuk sering menggunakan komputer guna mendapatkan bahan pelajaran karena sebagian materi harus dicari dari internet.
“Kadang membutuhkan waktu lama untuk mencari materi pelajaran yang diinginkan. Tapi tidak terlalu repot jika biasa menggunakan fasilitas internet,” ujar Novela.
Hal serupa diungkapkan Anatasya, teman sekolah Novela, terkait banyak beban tugas semenjak diberlakukan kurikulum baru itu.
Anastasya mengaku hampir semua tugas yang diberikan sangat berat. “Banyak tugas dari setiap pelajaran. Hampir sebagian waktu dipakai untuk mengerjakan tugas, bahkan nyaris tidak tidur,” katanya.
Siswa lainnya, Rizky Putri Muslim, kelas 11 dari SMUN 4 Jayapura mengatakan, sistem kurikulum 2013 butuh bimbingan lebih.
“Ada mata pelajaran yang mudah dan ada yang sulitnya, dimana kita dituntut benar-benar harus aktif belajar mencari dan mengerti tema pembelajarannya.
“Susahnya, belum tentu dijelaskan oleh guru, agak repot sih tapi itu membuat 1,5 tahun ini saya merasa enjoy,” tambah Rizky.
Keharusan beradaptasi dengan kurikulum 2013, bukan hanya di kalangan pelajar, guru dan pengelola sekolah pun melakukannya, termasuk memperbanyak materi kurikulum 2013 dalam bentuk Compact Disc (CD) atau cakram optik digital yang digunakan untuk menyimpan data, agar seluruh sekolah dapat mengakses kurikulum pendidikan terbaru itu.
“Distribusi buku Kurikulum 2013 di Provinsi Papua masih terkendala waktu dan luas wilayah, dan hampir sebagian besar sekolah dasar di kabupaten belum mendapat buku itu sehingga kami perbanyak dalam bentuk CD,” kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Elias Wonda.
Elias mengatakan, untuk jenjang SMP dan SMA sebagian besar sudah terpenuhi.
Guna mengantisipasi kekurangan buku kurikulum 2013 jenjang SD, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua memperbanyaknya dalam bentuk CD, untuk selanjutnya dibagikan ke berbagai sekolah yang belum memiliki buku kurikulum 2013.
“Sebagian besar SD di 28 kabupaten yang ada di Papua belum punya buku kurikulum baru itu, sehingga kami bagikan CD itu, kecuali Kota Jayapura,” ujarnya.
Menurut Elias, dinas pendidikan di kabupaten se-Papua juga memperbanyak CD lalu didistribusikan ke wilayah yang belum mendapat kurikukum baru tersebut.
“Untuk Papua, hanya Kabupaten Biak yang 100 persen memiliki buku kurikulum 2013 untuk semua jenjang pendidikan. Tapi daerah lain belum sepenuhnya,” ujarnya.
Kabupaten dan Kota Jayapura yang aksesnya mudah saja, belum juga rampung atau masih 90 persen menerima kurikulum 2013.
Sementara Kabupaten lain yang sulit dijangkau seperti di daerah pegunungan Papua, umumnya belum mendapat kurikulum tersebut.
“Kebanyakan daerah pegunungan Papua yang menjadi target distribusi CD. Kalau sudah ada buku baru ditiadakan,” ujarnya.
Terkait kekurangan buku kurikulum pendidikan 2013 itu, Gubernur Papua sudah menyurati Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengirim buku kurikulum baru itu ke Papua untuk diperbanyak di Jayapura.
“Tindak lanjut dari surat itu, pihak kementerian (Kemdikbud) tengah melakukan pengecekan alat di Percetakan Rakyat Papua, hanya saja belum ada kepastian untuk waktu pencetakannya,” ujarnya.
Jaringan telekomunikasi Menurut Menkominfo Tifatul, pemerintah telah melakukan banyak pembenahan infrastruktur telekomunikasi di Tanah Papua melalui sejumlah terobosan mulai dari internet kecamatan, TV, hingga parabola satelit.
Kendati demikian, kata dia, pengguna akses telekomunikasi di Papua dan di Indonesia pada umumnya setiap saat terus meningkat, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas jika bersamaan menggunakannya.
“Satu ’tower’ atau BTS itu kapasitasnya ada yang 70 ’voice’, SMS bisa lebih banyak, tapi kalau pakai MMS, Youtube, bisa tersedot banyak hingga ’over load’,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa para provider juga terkendala di lapangan ketika ingin memperluas jaringannya seperti izin lahan dan pajak.
“Masalahnya banyak, karena pasang BTS saja itu Rp2 miliar, tapi terkadang biaya di lapangan itu ada hal teknis lainnya. Ini yang selalu dipikirkan provider, dia juga harus balik modal. Jadi, mereka berpikir jika ingin investasikan sesuatu,” katanya.
Di sisi lain, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya butuh akses telekomunikasi yang cepat.
“Operator juga berhitung. Balik modalnya bagaimana, terutama yang bukan BUMN, Telkomsel bisa kita dorong, kalau yang lain, pasti hitung-hitung. Mereka berpikir bisnis murni. Ini seharusnya bisa didukung pemerintah setempat. Bisa sesuaikan soal estetika pendirian BTS atau ’tower’ tapi berpikir juga soal para investor yang ingin cari keuntungan, diatur secara bijaklah,” katanya.
Tifatul kemudian berharap masyarakat Papua dukung peningkatan jaringan telekomunikasi yang dikembangkan oleh operator layanan jasa telekomunikasi.
“Harapannya, ada kemudahan dan kebijakan bagi para operator penyedia jasa layanan telekomunikasi di Papua, karena mereka profit oriented,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa kemajuan dalam pembangunan layanan jasa telekomunikasi dipengaruhi oleh empat faktor, yang jika diistilahkan dengan simbol ABGC.
“A, itu akademik, yang berperan dalam penelitian dan pengkajian. B itu bisnis yang membutuhkan investasi atau investor. G itu, government atau pemerintah yang perannya sebagai regulator dan penentu kebijakan, seperti tidak persulit IMB. Sementara C, itu Community atau komunitas, kelompok masyarakat pengguna dan lainnya,” katanya.
Menurut Tifatul, berbagai faktor itu sangat menentukan sekali, seperti saat akan membangun tower suatu operator penyedia jasa layanan yang hanya memerlukan lahan seluas 40 meter persegi, dengan biaya Rp2 miliar.
“Belum lagi dalam tower itu harus ada genset, solar, penjaganya. Semua itu kan biaya, jadi para operator akan memikirkan semua itu. Sehingga diperlukan dukungan masyarakat luas dan pemerintah,” katanya.
Tifatul mengaku dapat memahami kondisi daerah yang memberlakukan regulasi ke arah pendapatan daerah, namun tentunya tidak memberatkan operator jasa layanan telekomunikasi.
Masyarakat pun demikian, karena jika hasil analisa operator penyedia jasa layanan telomunikasi, penambahan infrastruktur tidak menguntungkan dari aspek bisnis, maka program peningkatan jaringan masih ditunda.
“Misalnya untuk bangun satu tower biayanya Rp2 miliar di daeah lain, dan di Papua bisa jauh lebih banyak dari nilai itu, maka tentunya mereka akan terus mempertimbangkan pengembangan jaringan,” ujarnya.
Tampaknya, banyak pihak yang harus berbuat nyata untuk menghasilkan generasi emas Indonesia, terkait pemberlakukan kurikulum 2013.
Jaringan internet harus diperluas dan kecepatan aksesnya ditingkatkan, serta arahan dan bimbingan guru agar minat belajar calon-calon generasi emas Indonesia tidak surut. (Sumber : http://www.suarapembaruan.com/ )
0 comments:
Post a Comment